Digital Immigrants vs Digital Natives ( Sebuah Catatan Refleksi bagi GURU )

Menyikapi tuntutan zaman yang semakin kompetitif, dunia pendidikan di Indonesia mulai berbenah dengan menata kembali berbagai instrumen pendidikan, salah satu diantaranya adalah kurikulum dengan memberlakukan Kurikulum 2013 atau yang sering disingkat K13. Karakteristik pembelajaran dalam Kurikulum 2013 dikemas dengan model Pembelajaran Abad 21 yang meliputi Critical Thinking and Problem Solving, Creativity and innovation, Communication dan Collaboration. Intinya, pembelajaran abad 21 menekankan kepada kemampuan peserta didik untuk berpikir kritis, mampu mengkoneksi pengetahuan yang didapat d ruang kelas dengan pengalaman mereka di dunia nyata, menguasai teknologi informasi, berkomunikasi dan mampu berkolaborasi dengan orang lain. Abad 21 adalah abad digital, dimana komunikasi dilakukan melewati batas wilayah negara dengan menggunakan berbagai perangkat teknologi yang semakin canggih. Dengan demikian, guru wajib menguasai teknologi informasi dan mengaplikasikannya dalam kegiatan pembelajaran. Hal ini telah ditegaskan dalam Permendiknas No. 16 tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru yang menyebutkan bahwa salah satu kompetensi wajib guru yaitu memanfaatkan tekonologi informasi untuk kepentingan kegiatan pembelajaran yang mendidik. Tantangan riil bagi guru saat ini adalah menghadapi siswa di ruang kelas yang notebene telah melek teknologi karena rata-rata mereka terlahir di abad teknologi. Marc Prensky pada tahun 2001 dalam artikelnya yang berjudul Digital Natives membahas secara rinci tentang kesenjangan antar guru yang masih mengajar dengan metode lawas (tradisional) dengan cara belajar siswa yang lahir dalam dekade terakhir abad ke-20. Prensky menjuluki anak-anak tersebut dengan istilah Digital Natives (warga pribumi digital). Lebih jauh dijelaskan oleh Prensky bahwa generasi digital native adalah generasi yang lahir mulai dari tahun 1990 dimana teknologi sudah berada di lingkungannya, sedangkan generasi yang lahir sebelum tahun 1990 disebut sebagai Digital Immigrants (warga yang berpindah dari zaman tradisional manual ke zaman modern digital). Guru saat ini lebih banyak diposisikan sebagai Digital Immigrants yang harus mampu beradaptasi dengan kemajuan teknologi informasi yang terus berkembang secara masif dan cepat. Untuk menjawab tantangan ini yang perlu dirubah adalah mind-sett guru yang cenderung merasa puas dan nyaman dengan apa yang telah dimiliki saat ini. Guru harus berani keluar dari zona nyamannya untuk berubah dan mengembangkan diri demi peningkatan mutu pendidikan yang dimulai dari ruang-ruang kelas. Paradigma pembelajar seumur hidup (life-long learner) mesti menjadi roh dari seorang guru jika ingin menyandang lebel sebagai guru profesional. Upaya untuk terus meng-uprade pengetahuan mesti menjadi ciri seorang guru dengan banyak membaca, berdiskusi, berkomunikasi dan berkolaborasi dengan berbagai sumber demi memperkaya pengetahuannya. Tak pernah ada kata puas dengan pengetahuan yang telah dimiliki, karena zaman terus berubah diiringi dengan lahirnya pengetahuan, teori serta teknologi baru yang lahir dalam hitungan detik. Kemampuan guru untuk menguasai dan mengoptimalkan penggunaan teknologi informasi dalam pembelajaran sangat dibutuhkan dalam model pembelajaran abad 21 yang lebih dikenal dengan istilah “blended learning” yakni memadukan pembelajaran dengan metode tatap muka tradisional dengan penggunaan sistim digital dan online media. Pada tataran ini, teknologi informasi bukan lagi merupakan sebuah pelengkap (additional) tetapi merupakan sebuah kebutuhan wajib bagi guru. Tanpa penguasaan teknologi informasi bahkan literasi informasi dari berbagai sumber akan sulit bagi guru untuk mengembangkan pembelajaran dan pelayanannya bagi siswa-siswi masa kini yang telah menyandang status sebagai generasi digital natives. Warga digital native terlahir dalam lingkungan dimana teknologi informasi telah maju sedemikian pesat dan canggih, apalagi anak-anak yang lahir setelah tahun 2000 dimana kemanjuan teknologi informasi dan penetrasi smartphone begitu masif. Sejak kecil mereka sudah bergaul erat dengan teknologi informasi dari yang paling sederhana sampai yang canggih. Saksikan saja bagaimana orangtua mengajak anaknya berfoto dengan smartphone, mangajak selfie, bagaimana orangtuanya membalas pesan whatsApp, menghibur mereka dengan video youtube dan lain sebagainya. Banyak hasil riset juga telah menjelaskan bahwa saat bayi masih dalam kandungan dia mampu merasa dan merekam saat jari-jari sang ibunya bergerak lincah menyentuh touch screen smartphone. Tidaklah mengherankan ketika mereka tumbuh pada usia 3 tahun sudah mahir memainkan smartphone dengan puluhan fitu-fitur yang tersedia didalamnya. Dampaknya adalah ketika mereka memasuki usia sekolah dimana pengetahuan yang mereka bangun tidak semata-mata bersumber dari guru, tetapi justru mereka lebih aktif dan nyaman membangun komunikasi dan merambah informasi lewat media digital online yang menawarkan berbagai kemudahan dengan tampilan yang menarik. Apalagi ketika mereka telah akrab dengan maha guru online yang namanya “mbah google” dimana miliaran informasi dapat diakses dengan mudah dan cepat dalam hitungan detik dari berbagai penjuru dunia. Pengetahuan yang mereka dapat di dunia digital online bisa berlipat kali banyakanya dibandingkan dengan apa yang mereka dapatkan di ruang-ruang kelas. Bahkan bisa jadi pengetahuan yang dimiliki oleh warga digital natives sama sekali tidak pernah diperoleh dan tersentuh lewat proses pembelajaran di sekolah. Dengan memperhadapkan realita ini, kiranya menjadi titik simpul bagi guru sebagai pembelajar masa kini untuk melakukan refleksi diri, jika tidak ingin tertinggal dari anak didik kita yang terlahir sebagai digital natives. Hasil refleksi guru diharapkan menjadi momentum untuk keluar dari zona nyaman (comfort zone) dan berikthiar untuk mengembangkan kompetensinya dalam hal penguasaan teknologi informasi. Keinginan untuk maju dalam menguasai pengetahuan dan teknologi informasi akan memposisikan guru sebagai seorang fasilitator profesional yang mampu berkolaborasi dengan siswa di ruang kelas untuk membangun pengetahuan, memberdayakan dan membangun karakter sehingga pada akhirnya dapat mengahasilkan lulusan yang punya daya saing tinggi yang dapat berkompetisi di abad 21. Semoga……….* *) Oktovianus Sahulata, S.Pd.,M.Si Pengawas Sekolah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Prop. Maluku

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer